Jakarta, Kompas — Saat ini, infeksi virus hepatitis, terutama hepatitis B dan C, masih merupakan masalah kesehatan utama di dunia. Kasus ini dialami 60 persen pengidap HIV/AIDS.
Deteksi dini hepatitis dan pengobatan penyakit ini dapat mencegah timbulnya sirosis dan kanker hati sebagai dampak lanjut infeksi virus ini pada tubuh. Dengan demikian, kondisi kesehatan penderita terkendali.
Hal itu disampaikan Dirjen Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan Kementerian Kesehatan Tjandra Yoga Aditama dalam Diskusi Publik yang diselenggarakan Jaringan Orang Terinfeksi HIV Indonesia (JOTHI) di Jakarta, Rabu (27/7).
Diskusi menampilkan pembicara lain, yakni Oscar Barrerecheo, Representatif dari WHO, dan Unggul Budihusodo dari Divisi Hepatologi Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI-RSCM, serta Kosasih dari PT Indofarma Tbk.
Diskusi ini berkaitan dengan Hari Hepatitis Sedunia Kedua pada 28 Juli 2011 yang bertema ”Saatnya Lawan Hepatitis”. Ada beberapa kegiatan untuk meningkatkan kepedulian dan pemahaman masyarakat tentang infeksi hepatitis, meliputi pencegahan, penemuan kasus secara dini, dan pengobatan komplikasi yang ditimbulkan oleh virus hepatitis.
Unggul mengatakan, HIV dapat mengakselerasi penyakit hati akibat hepatitis C virus (HCV). Dalam 10-15 tahun terinfeksi sehingga 25 persen HIV/HCV berkembang menjadi sirosis dan kanker hati. Untuk mengatasinya, menurut Unggul, pengobatan HIV/AIDS harus dilakukan lebih dulu sebelum mengobati HCV yang bersifat kronik.
Saat ini tersedia obat HIV/ AIDS Anti Retroviral Therapy (HAART) yang tidak beracun terhadap hati. Untuk pengobatan HCV dengan interferon masih terkendala harga yang mahal. Pengobatan perlu penyuntikan interferon 24-48 kali dengan harga 2 juta per dosis.
Peringkat ketiga
Tjandra memaparkan, saat ini 2 miliar penduduk pernah terinfeksi virus hepatitis B dan diperkirakan 500 juta orang menderita infeksi virus hepatitis B dan C. Dari jumlah itu, 1,5 juta orang meninggal.
Indonesia termasuk negara dengan prevalensi HBsAg kategori tinggi, lebih dari 8 persen, dan menempati urutan ketiga setelah China dan India.
Penyebabnya, sebagian besar penderita tak menyadari terinfeksi virus hepatitis karena tidak menampakkan gejala sehingga diagnosis sering terlambat.
Prof Ali Sulaiman, salah satu anggota Koalisi Pemberantasan Virus Hepatitis di Asia Pasifik (CEVHAP), dalam siaran pers terkait peringatan Hari Hepatitis Sedunia, juga menyatakan, tingkat kesadaran masyarakat sangat kurang apabila dibandingkan dengan HIV/AIDS dan malaria. ”Dengan dibentuknya CEVHAP diharapkan dapat meningkatkan kesadaran pencegahan dan mendorong terbukanya akses deteksi dini dan pengobatan yang lebih luas di Indonesia,” ujarnya.
Menurut Stephen Locarnini, Kepala Divisi Laboratorium Referensi Penyakit Infeksi Victoria, Australia, yang merupakan salah satu pendiri CEVHAP, mengatakan, lebih dari separuh pasien hepatitis kronis tinggal di negara yang tidak memiliki kebijakan untuk tes gratis dan 41 persen pasien hidup di negara yang tidak memiliki dana pemerintah untuk pengobatan hepatitis B dan C. (YUN)
0 comments:
Post a Comment